By Supernova
Di Antara Bintang-Bintang
Ia kembali mendongakkan kepalanya,
menatap langit luas yang ada di atas kepala kami. Langit malam yang bagaikan
beledu hitam dengan hiasan permata-permata di sekelilingnya. Angin malam
berhembus, mempermainkan rambutnya yang dimodel seperti Ewan McGregor dalam
Moulin Rouge.
Ia selalu histeris akan hal-hal yang
tak kumengerti. Setelah beberapa jam kami berdua duduk di atas rumput, dan
memandangi langit malam sambil bercerita tentang banyak hal, ia masih juga
menjelaskan dengan tabah tentang keindahan yang tak dapat kutangkap dengan
mataku.
"Coba lihat...langit begitu
hitam sampai batasnya dengan bumi hilang. Akibatnya kerlip bintang dan lampu
kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Luar biasa kan?"
Ia menatapku dan tertawa melihat
ekpresiku yang kaku. Kelihatan sekali kalau aku tidak mengerti apa yang ia
maksud, atau setidaknya, aku tidak mengerti mengapa langit, bintang, dan lampu
kota bisa terlihat begitu indah di matanya.
“Suatu hari kau akan mengerti, Lex.”
David berbisik mesra di telingaku. “Kau akan mengerti mengapa aku begitu
memuja-muja keindahan. Suatu hari aku akan menunjukkan padamu, bintang-bintang,
bukan hanya diatas kepalamu tapi juga di bawah kakimu.”
Aku memeluknya dalam keheningan.
Tuhan, betapa aku mengasihi orang ini...David selalu mampu menggambarkan
segalanya dengan tepat, indah dan rasional. Atau mungkin itulah satu-satunya
cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan
pujangga dan tidak pernah menyukai makna-makna konotatif. Monokrom dan kurang
dimensi, begitu katanya selalu tentang diriku. Pragmatis dan realistis,
demikian aku menerjemahkannya. Dengan segala rasio dan akal, aku pun mencintai
pria di sampingku itu. David, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang
dapat kubanggakan sekaligus kukagumi. Ia mampu berpanjang lebar menjelaskan
filosofi cinta dan adieksistensinya, sementara aku sendiri tak akan pernah
menganalisis cinta. Yang aku tahu, aku amat peduli dengannya, sebisa mungkin
ingin selalu bersamanya, dan aku yakin kami dapat bekerja sama membina apa pun,
termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi cinta bagiku, dan cukup
sekian. David juga tahu itu.
"Kamu nggak kedinginan ?"
tanyaku sambil siap-siap membuka jaket. Mendengarnya, David yang hanya memakai
cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca. Ia pasti telah hanyut jauh
dalam dunianya sendiri. Meninggalkanku sendiri di duniaku bersama seribu
pikiran yang bergayut di benakku. Dalam balutan jaketku David pun meringkuk.
Matanya masih menerawang. Aku tahu apa yang ia lamunkan apalagi setelah
mendengar helaan nafasnya, tapi aku enggan bertanya. Untuk apa mengungkit
sesuatu yang akan membuat pikiranku terganggu. Tak lama kemudian kami kembali
ke Jakarta.
"Sudah lama ya kita nggak
jalan-jalan ke Puncak lagi," ujar David yang melengang dengan handuk di
tangan. "Terakhir kapan ya ?"
"Fiuh, bulan yang lalu? Waktu
langit dan bumi jadi satu itu,” sahutku menjawab pertanyaannya.
David menatapku lucu. "Kamu
punya ingatan hebat, tapi kamu mengatakannya sama datar dengan bilang '1+1=2'..."
Suara air diguyur pun menggema dari
kamar mandi. David selalu lama kalau mandi. Aku pun kembali meneruskan
bacaanku, dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Tiba-tiba suara guyuran itu
berhenti, tidak, bukan selesai. Suara itu berhenti begitu saja, menyisakan
keheningan yang aneh. Malam yang hening membuatku menjadi awas akan perubahan
yang terjadi. Aku melirik sedikit, pintu kamar mandi terbuka dan David tengah
berdiri mematung dengan hanya mengenakan handuk di pinggangnya.
"Vid…kamu baik-baik saja
?" tanyaku khawatir.
Cukup lama David tidak menjawab,
sampai akhirnya perlahan ia berpakaian "Lex, saya kepingin pulang saja
ya." Dengan lunglai ia menghampiriku.
"Sudahlah, kamu di sini saja,
besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi," kataku seraya
menguap. Aku tak perlu berbasa-basi dengan David.
Tiba-tiba mata itu berkaca-kaca.
"Saya merasa nggak karuan," gumamnya pelan. Mendadak aku merasa
bersalah. Seringkali aku bersikap terlalu kritis kalau David menangis.Aku
selalu berusaha menginjeksikan logika yang kupikir perlu namun ternyata malah
membuat ia makin sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya.
Tak heran kalau ia lebih memilih pulang daripada harus meledakkan tangisnya di
depanku.
"Kamu di sini saja. Menangis sesuka
hati. Saya janji akan diam, oke?" Aku tersenyum dan menariknya duduk di
sampingku, kembali membaca.
"Lex..." panggilnya
setelah sekian lama mematung.
"Hmmm?"
"Aku suka sekali mandi. Mau
tahu kenapa?" Ingin sekali kulontarkan jawaban spontan, seperti 'supaya
kuman tidak nempel’ atau 'afeksi berlebihan akan wangi sabun', tapi kuputuskan
untuk diam.
"Di saat aku mandi, aku hampir
tidak mendengar apa-apa selain bunyi air yang kuguyurkan ke badanku. Nyaris
tidak memikirkan apa-apa karena berkonsentrasi penuh menggosok badanku,
walaupun cuma lima atau sepuluh menit. Duniaku mendadak sempit...hanya sabun,
busa dan tubuhku. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Lex, tapi
berarti sangat banyak..."
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai
david, pujanggaku sayang. Untung sudah cukup lama aku terlatih membaca
makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti
alasan-alasan di balik itu semua. Seperti untuk apa ia memilih menikmati luka
yang cuma bikin ia sedih dan menangis.
Aku menatapnya iba. David dengan air
mata yang berlinangan di pipi, tangisannya yang tak pernah bersuara. Dan
linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
"Kamu...pasti
sebenarnya...sudah ingin ngomel-ngomel." Ia berbisik susah payah.
"Aku tetap tidak mengerti. Tapi
semuanya terserah kamu..." Aku menghela nafas seraya menepuk-nepuk
bahunya. Kucium kening David sekilas. Saat seperti ini membuatku berpikir lagi,
jangan-jangan aku terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak
masuk ke dalam paket kelahiranku, makanya aku selalu gagal mengerti, sekalipun
seorang ahlinya ada sangat dekat di sini.
David adalah guru besar bahasa aneh
itu. Bahasa yang berasal dari planet tempat cinta adalah segala-galanya dan
mempunyai logika dan hukumnya sendiri. Dan apa pun yang kupelajari selama ini
tetap tak mampu mendekatkanku pada pengertian komprehensif akan hal satu itu.
Ulang tahunnya yang ke-27.
Setelah makan malam bersama
teman-teman kami yang dipenuhi tawa dan keceriaan, kini kami kembali berdua.
Matanya yang menerawang jauh, kakinya yang meringkuk, nafasnya yang mulai
ditarik-ulur. Demikianlah David, bahkan di hari seistimewa ini sekalipun.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia riil
dan satu alam yang masih tak kumengerti itu. Dan hampir tak ada yang dapat
menahannya menyeberang.
"Ini...hadiah untuk kamu."
Aku membuyarkan lamunannya. David agak terkejut melihat kotak yang disodorkan
di depan amtanya. Ia pun tertawa kecil. "Sejak kapan kamu kasih kado
segala?"
"Usia 27 adalah usia
penting," jawabku sekenanya. Tawanya semakin lebar ketika ia tahu apa isi
kotak itu. Aku langsung sibuk menjelaskan, "Perlengkapan mandi untuk
bepergian lengkap, isinya sabun cair dengan wangi Sandalwood kesukaanmu, shampoo
dengan wangi yang sama, handuk lebar, dan sikat gigi lengkap dengan pasta
giginya. Kemasannya praktis, jadi bisa kau bawa bepergian, juga kalau kau
menginap di sini.”
"Lex," potongnya geli
seraya menahan tanganku. "Saya tahu kamu adalah manusia paling realistis
yang pasti akan memilih hadiah praktis seperti ini, tapi...kenapa perlengkapan
mandi?"
Aku menatap kedua mata itu, dan
untuk pertama kalinya ada kegugupan yang entah hinggap dari mana.
"Soalnya...ehm soalnya..."
Aku gelagapan dan buru-buru menunduk. Kuatur nafas sejenak dan mengusir
jauh-jauh keparat yang telah menghambat lidahku, melirik sekilas dan
mendapatkan David tengah menunggu jawabanku sambil tersenyum. Senyuman yang
mampu mencairkan sel-sel kelabu otak. Senyuman David dari dunia nyata, bukan
antah berantah itu.
"Aku tidak pernah mengerti
dunia dalam lamunan kamu," kata-kata itu akhirnya yang meluncur keluar.
"Pengharapan apa yang kamu punya, dan kekuatan apa yang sanggup menahanmu
sekian lama di sana. Tapi kalau memang mandi adalah satu dari sedikit tiket
yang bisa membawa kamu pulang, maka saya ingin kamu semakin asyik mandi,
semakin lama menggosok. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di
satu-satunya dunia yang saya tahu dan mengerti. Satu-satunya tempat di mana
saya eksis bagi kamu."
Ia terperangah. Menjauh.
"Vid...jangan..." Langsung aku berkata was-was.
"Kamu tahu perasaanku dan aku
takkan mau membahas soal ini lagi..."
"Aku juga tidak mau, tapi
inilah kenyataanya. Kenyataannya aku tidak pernah berubah dari bertahun-tahun
yang lalu... dan kupikir kamu juga tahu itu. Ya, ampun, buka mata kamu sekali
ini saja, Vid!" "Kamu sahabatku... sahabat terbaik..."
Ia makin menjauh. Bersiap menutup
diri.
"Sampai kapan kamu terus
mengharapkan dia?" Tak tahan aku pun berseru, "Orang yang tidak
pernah hadir di saat-saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin
memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan untuk
melamunkan dia, orang yang tidak tahu bahwa kamu bahkan harus mandi hanya untuk
bisa melepaskan dia barang sepuluh menit dari pikiran kamu? Orang yang bahkan
sudah punya kehidupannya sendiri?"
"Dia ingin datang. Biar itu
cuma dalam hati. Dan dia akan menjemputku, di kesempatan pertama yang dia
punya. Aku juga bisa merasakan kalau dia selalu memikirkanku."
"Kapan kamu akan bangun,
David?" keluhku letih.
Ia menggeleng. "Ini yang
namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak kamu tahu."
Aku balik menggeleng. "Itu
kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu
tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang yang
mengobati lukanya dengan cuka dan bukannya obat merah."
David menyentuh wajahku sekilas.
"Semoga suatu saat kamu mengerti."
Kata-kataku habis sudah. Dalam hati
aku menolak tegas pernyataanya dan ia pun bisa melihatnya jelas. Apa yang ia
yakini tentang perasaannya berada di luar akalku. Mana mungkin aku bisa
mengerti.
Kami berdua berdiri berhadapan, dua
manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya, namun malam ini kami
merasa asing satu sama lain. Aku mencintai David. David mencintai pria lain,
yang sekarang bahkan sudah berumah tangga. Demikianlah fakta sederhana yang
telah kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku
yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi David, sementara cintanya
David adalah substansi ekstra-terestrial bagiku. Kami tak mampu lagi
berkomunikasi.
Hampir genap setahun tak ada David
lagi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam. Tidak
ada lagi yang menunjukkan signifikasi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi
yang duduk di sofa panjangku untuk melalap buku-buku filsafat. Tapi yang paling
aku kehilangan adalah mendengarkan ia mandi.
Hampir setiap saat aku berusaha
merasionalkan semua ini dan kesimpulanku selalu sama, aku harus menemuinya
lagi. Bukan satu hal yang sulit untuk menemukannya. Ia masih David yang dulu,
yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman berbukit-bukit
di komplek rumahnya. Yang sulit adalah mengungkapkan apa yang tak pernah aku
sadari. Yang sulit adalah tidak punya harapan apa-apa sesudah aku selesai
menyampaikannya nanti.
"David..." Ia berbalik,
kaget luar biasa ketika mendapatkanku muncul lagi dalam hidupnya begitu saja.
Lebih kaget lagi ketika aku langsung duduk di hadapannya dan meraih jemarinya
dengan tanganku yang dingin karena tegang.
"Sebentar saja. Aku tidak akan
lama," ucapku cepat untuk meredam rasa kagetnya.
Ia pun seperti tidak bisa berkata
apa-apa, hanya jemarinya ikut jadi dingin.
"Aku tidak akan pernah jadi
pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Aku tetap Alex, si
pragmatis realis yang melihat segalanya dengan tiga dimensi dan bukannya empat
seperti kamu. Tapi sekarang aku mengerti kondisi aneh itu..." Aku menelan
ludah. "Karena aku sudah mengalaminya. Kebutaan itu. aku tahu sekarang,
aku mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan karena sekadar
kamu memenuhi standarku, tapi...karena aku juga mencintai kamu di luar akal.
Satu tahun aku menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi aku
memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya, termasuk alam lamunan
yang tidak pernah ada aku di dalamnya."
"Dan aku tetap Alex yang
kalkulatif dan tidak mau rugi. Tapi aku benar-benar tidak mengharap apa-apa
kali ini. Aku hanya ingin mengatakan ini semua dan sudah. Habis
perkara." Aku menutup pernyataanku dengan senyum semampunya. Berusaha
bangkit berdiri, walau berat sekali. Tangan David yang sedingin es batu
tiba-tiba menahanku.
"Kamu mau kemana?"
tanyanya lirih.
"Mm..jalan-jalan..." jawabku
tidak yakin.
"Ikut," ujarnya pendek
seraya berdiri melipat buku. Kami berdua berjalan meninggalkan taman.
Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sama sekali tak ada jejak spasi
kosong dari satu tahun yang sepi itu.
"Aku sendiri sudah banyak berpikir
murni dengan sel-sel otak seperti yang kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang
kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya..." Ia berkata lamat-lamat,
"Tidak akan ada orang lain yang mengerti alam itu selain kita sendiri.
Tapi kemanapun yang kupilih, kamu tetap orang yang paling nyata dan paling
berarti. Aku tidak harus mandi untuk bisa pulang. Kamu adalah jalan pulang,
rumah yang nyaman dan tiket sekali jalan. Aku tidak ingin pergi lagi. Itu juga
kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan."
Perjalanaan singkat menuju mobilku
sore itu adalah gerbang menuju sebuah perjalanan baru yang panjang.
David benar. Banyak hal yang tak
bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan kesempatan itu harus
ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu
membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur
hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan
memandang David yang asyik mandi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan
kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan mandi
tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia
absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat
kusukai. Ketakutan yang timbul justru karena sekarang aku benar-benar mengerti
perasaan David dan semua alasannya dulu.
Tapi semua itu sekarang telah
berlalu, seiring dengan berjalannya waktu, David mulai mengurangi mandi. Seolah
ia tak memerlukan lagi mandi hanya untuk melupakan pria yang pernah merebut mahkota
hatinya. Ia mulai bisa menatap dunia dan tersenyum. Bahkan beberapa hari yang
lalu ia sudah bisa mengolok-olok pria yang selama ini selalu mengisi pikirannya
itu. Sungguh kemajuan yang patut dibanggakan.
Sebaliknya aku, aku menjadi semakin
memahami David setelah setahun berpisah dengannya. Aku seperti orang yang baru
saja mendapat kursus kilat bahasa mahluk planet di mana cinta adalah
segala-galanya. Dan aku mulai bisa melihat dengan kacamata David.
Sesuai janjinya padaku, di ulang
tahunku yang kedua puluh sembilan, ia membawaku lagi ke Puncak. Kami duduk di
sebuah bungalow di tepi jurang, memandang langit malam yang pekat bagai beledu.
Bintang-bintang bersinar dengan indahnya di atas kepala kami, dan lampu-lampu
kota gemerlapan di bawah kaki kami. Kurasakan perasaanku bergejolak dengan
kuatnya melihat keindahan yang terbentang di hadapanku. Kupandangi David,
pujanggaku yang tampan, ia juga balas memandangku dalam-dalam.
Sedetik kemudian bibir kami bertemu,
saling memagut dengan liarnya, membagi nafsu dengan leluasa disaksikan langit
malam, bintang-bintang, dan lampu-lampu kota.
…Aku akan menunjukkan padamu
bintang-bintang, bukan hanya di atas kepalamu, tapi juga di bawah kakimu…
Kamu ada komentar, kritik, saran,
atau mau kenalan? Hubungi aku valacee@email.com